Eka Kurniawan
Författare till Beauty is a Wound
Om författaren
Eka Kurniawan was born on November 28, 1975 in Tasikmalaya, West Java, Indonesia. He studied philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta. He writes novels, short stories, movie scripts and essays. His novels in English include, Beauty is a Wound and Man Tiger which won the 2016 Emerging Voices visa mer award for best novel. He also works as a journalist and designer. (Bowker Author Biography) visa färre
Foto taget av: Credit Dwianto Wibowo
Verk av Eka Kurniawan
Fegurð er sár 1 exemplar
L'uomo tigre (Italian Edition) 1 exemplar
Taggad
Allmänna fakta
- Födelsedag
- 1975-11-28
- Kön
- male
- Nationalitet
- Indonesia
- Land (för karta)
- Indonesia
- Födelseort
- Tasikmalaya, West Java, Indonesia
- Bostadsorter
- Jakarta, Indonesia
- Utbildning
- Gadjah Mada University
- Yrken
- author
screenwriter
Medlemmar
Recensioner
Listor
Priser
Du skulle kanske också gilla
Associerade författare
Statistik
- Verk
- 13
- Medlemmar
- 857
- Popularitet
- #29,859
- Betyg
- 3.7
- Recensioner
- 33
- ISBN
- 71
- Språk
- 12
Kecerdasan penulis yang kedua menurut saya adalah bagaimana dia menceritakan bahwa: 1.) Sejarah akan terulang. 2.) Mental primitif sejak zaman kolonial tidak berhasil dihapus walaupun negara sudah merdeka dan Halimunda ikut merdeka. Bahwa kekerasan dan seks masih bahasa utama mengalahkan kecerdasan, diskusi yang baik dan keinginan untuk maju. Sejarah terulang kembali karena kolonial Belanda memporak porandakan Halimunda dengan kekerasan, kemudian terulang kembali ketika Jepang datang, lantas terulang kembali ketika perjuangan kemerdekaan, terus masih terulang ketika pemberantasan komunisme di Halimunda, dan akhirnya terulang ketika pembalasan dendam yang dilakukan oleh begundal-begundal Halimunda dipimpin Maman Gendeng, dibalas oleh Shodancho yang telah hidup melewati semua lintas kekerasan tersebut.
Seks terulang karena di zaman kolonial gundik menjadi komoditas, sedangkan di zaman Jepang pelacur dipakai untuk membuat tentara Jepang bersemangat, dan perpelacuran dipertahankan sampai Indonesia merdeka bahkan seakan-akan menjadi identitas Halimunda sendiri.
Tokoh-tokoh cerita ini bagaikan kekontrasan satu sama lain: 1.) Kamerad Kliwon, tampan dan pemberani bahkan jadi tokoh Partai Komunis terkemuka, diceritakan sebagai pemuda penakluk wanita dan akhirnya mati konyol setelah tak bisa setia dengan istrinya. 2.) Shodancho, sosok berpangkat militer yang lebih menyukai perang daripada masa damai sampai-sampai menaklukkan istrinya dengan cara serupa dengan perang. Pun akhirnya mati secara ironis oleh peliharaan-peliharaannya. 3.) Maman Gendeng, sosok bebal, preman yang semata-mata hanya menginginkan keluarga dan memang berniat insyaf, sekali lagi mudah menelusuri masa lalunya untuk membalaskan dendam meskipun akhirnya pergi dari dunia dengan cara lebih bermartabat daripada dua lelaki kuat lainnya. 4.) Alamanda, tahu betul kecantikan adalah senjata utama wanita, menggunakannya untuk mempermainkan pria dan akhirnya ia sendiri yang menderita akibat permainannya. Ironisnya lagi, ia menyembunyikan hal paling hina dari adiknya yang menyayanginya. 5.) Adinda, menyia-nyiakan kecantikannya untuk mencintai pria yang tidak mencintainya, akhirnya menderita karena suaminya meninggalkannya dan anaknya jadi lebih gila dari suaminya. 6.) Maya Dewi, anak terakhir pelacur Dewi Ayu yang begitu polos dan lugu, setelah berhasil menjinakkan begundal paling berbahaya di Halimunda justru melahirkan dan membesarkan anak yang sedemikian cantik tapi bodoh dan lupa memberikannya nasihat untuk melindungi diri. 7.) Ai, jatuh cinta kepada pria tapi gengsi dan akhirnya mencelakai diri sendiri. 8.) Krisan, tampan dan pemberani seperti ayahnya, tapi tak pernah belajar kesalahan ayahnya dan justru seperti mengulanginya semacam komedi amatir. 9.) Rengganis si Cantik, begitu cantik, polos dan disayangi ayah ibunya, tapi kecantikannya ternyata dibayar mahal dengan logika dan cara berpikirnya yang akhirnya membawanya pada celakanya sendiri. 10.) Dewi Ayu, hidup tanpa cinta dan harus mengandung rasa sakit sepanjang hidupnya, setelah mati pun masih harus melawan kutukan yang menghantui keluarganya.
Seperti sejarah, kutukan juga pada akhirnya akan terulang lagi dan lagi.… (mer)